Film Benyamin Biang Kerok Dinilai Melecehkan Perkumpulan Betawi


Setelah menonton film “ Benyamin Biang Kerok” yang ditayangkan di bioskop sejak 1 Maret 2018 besutan Sutradara Hanung Bramantyo, Perkumpulan Betawi menyatakan kecewa, bahkan merasa dihina. Bagaimana tidak, mengingat Benyamin S bukan sekadar tokoh film,  pemusik dan segambreng lagi sebutannya. Benyamin telah menjadi manifestasi dari kebudayaan dan sejarah orang Betawi.

Hanung dan para penulis skenario serta para pemodalnya telah dengan sengaja memanfaatkan nama Benyamin sebagai komoditas. Tidak lebih dari itu saja, meskipun film tersebut didedikasikan untuk mengenang Benyamin.
Izin dari keluarga dengan iming-iming merayakan ulang tahun Benyamin dengan menafsirkannya ulang ternyata hanya kamuflase dan trik memalukan yang pernah disebut oleh Sjumandjaja sebagai tukang kelontong perfilman.

Mereka ini,  kata Sjuman,  tidak ada punya kreativitas sebagai unsur utama film.  Mereka hanya punya kreativitas bagaimana melipatgandakan modal, memperbarui angka rekening, bukan memperbarui nilai film nasional.

Mayoritas  narasi, adegan,  gaya hidup yang dipertontonkan menjelaskan dengan gamblang tidak hadirnya pikiran di dalamnya semua asal comot.  Memang benar Benyamin juga asal comot.  Tetapi,  beda asal comot dengan kreativitas dibanding asal comot yang tanpa pikiran, hasilnya yang satu pembaruan, sedangkan satu lagi kedunguan.

Di awal adegan, sutradara Hanung banyak mencomot film James Bond dengan Casino Royal-nya, Mission Imposible, Tomb Rider, dan latar belakang mafioso yang sarat dengan perjudian, miras dan pornografi. Hanung tidak puas jika hanya  menjiplak narasi film aksi yang berkiblat ke Hollywood. Ia tutup film dengan adegan perkelahian yang menjiplak film Kungfu Hustle dari Hongkong.

Di antara awal dan akhir demikianlah jiplakan demi jiplakan disambung dengan buruk sebagai cerita.

Alhasil banyak keajaiban-keajaiban yang tidak logis yang berujung pada cerita film yang kacau karena gagal bercerita yang disertai dengan karakter yang lemah.

Akibatnya pemain-pemain sekaliber Lidya Kandouw,  Omas,  Mariam Bellina, Komar bahkan Rano Karno yang memiliki hubungan khusus dengan Benyamin,  malah tidak menemukan  alur cerita yang menantang dan memompa kejenialan membawakan karakter  mereka. Mereka tak lebih hanya melakukan adegan-adegan imitasi dari film Hollywood sampai Hongkong.

Demikianlah nasib film yang hanya mendompleng judul dan nama besar Benyamin Sueb dari film garapan Nawi Ismail pada 1972.

Benyamin Biang Kerok garapan Hanung Bramantyo dihidupkan untuk mempermalukan bukan hanya Benyamin dan keluarga, tetapi juga para sahabatnya di dunia film.

Memang benar melalui film ini nama Benyamin menjadi naik dan dibicarakan lagi. Tetapi,  buat apa jika dinaikkan untuk dipermalukan. Buat apa jika dibicarakan untuk jadi bahan pelecehan.

Bahkan pesan keluarga kepada Rumah Produksi Falcon Pictures pun diabaikan. Pesan tidak ada pusar,  rokok, minuman keras, semua dilanggar, juga adegan kekerasan.

Belum lagi jika bicara tradisi Betawi dalam film tersebut. Boleh dikata, narasi Betawi dalam film ini tidak ada selain sebatas jiplakan yang ditempel asal-asalan.

Jangan harap film ini seperti Biang Kerok dari Nawi Ismail,  Si Doel dari Sjumandjaja atau Rano Karno di sinteronnya yang menggugah dan mendorong penafsiran kebetawian dan nilainya.

Film garapan Hanung ini jauh dari nilai-nilai dan filosofi kebetawian. Tak bernilai selain komersial dan hanya memalukan Benyamin dengan kebetawiannya.

"Celakanya Falcon dan Reza Rahadian yang memerankan sebagai Pengki, terus melakukan promo film terbarunya itu. Bahkan, kabarnya film Benyamin Biang Kerok dibagi menjadi dua bagian.

Lantaran alasan-alasan di atas, maka Perkumpulan Betawi menghimbau agar warga masyarakat khususnya Betawi tidak menonton film tersebut, dan keluarga Benyamin S membatalkan pemakaian nama Benyamin untuk film bagian kedua yang sudah dibuat untuk tayang Desember mendatang.

Share this :

Previous
Next Post »